Hampir tiap pekan kusempatkan mengunjungi
salah satu toko buku yang ada di dekat pelabuhan. Toko buku ini termasuk toko
buku tertua yang ada di kota ini. Aku suka berkunjung ke sana, koleksi buku
buku lamanya lengkap, disamping harganya juga lebih murah dibanding toko buku
lainnya.
Siang yang begitu terik, aku menghampiri
penjual minuman dingin yang ada di seberang jalan, kemudian buru buru
menghabiskannya. Setelah botol minumanku benar benar kosong, aku segera
berjalan menuju toko buku langgananku. Toko buku ini meski tak dilengkapi
dengan pendingin ruangan, tetap terasa sejuk, memang sudah tak seramai beberapa
tahun yang lalu, setelah toko toko buku lainnya mulai berdiri dimana-mana. Toko
ini pun tak sebesar toko buku lainnya, yang sudah dilengkapi dengan pendingin
ruangan, sofa untuk membaca, dan fasilitas untuk mencari buku yang kita
inginkan.
Tenggelam dengan buku buku yang berjajar rapi,
aku sudah tak memperdulikan cuaca terik di luar sana, bahkan mungkin
sekelilingku. Fokusku hanya pada buku buku yang ada di depanku, hingga mata ini
kemudian terhenti pada satu buku “Lukisan
Langit”, demikian judul bukunya. Tiba tiba seseorang muncul dan berkata, “mungkin
kamu bagian dari lukisan itu”, sambil tersenyum ia kemudian pergi dan aku masih
terdiam, berusaha mencerna apa maksud dari ucapan orang tadi. Aku belum
menemukan maksud orang tadi berkata demikian padaku, ketika aku harus buru buru
meninggalkan toko buku ini, karena ternyata aku ada janji bertemu dengan
seorang teman.
Sudah dua pekan aku tak berkunjung ke toko
buku langgananku, aku disibukkan dengan pekerjaan kantor yang begitu padat di
akhir tahun. Hari ini aku pulang paling belakang di banding pegawai lainnya,
aku memilih merampungkan pekerjaan hari ini, di perjalanan pulang hujan tiba
tiba turun, memaksaku untuk berhenti di sebuah café kecil tak jauh dari
kantorku. Aku memesan kopi hangat, sekedar teman menikmati hujan. Tiba tiba
seseorang datang menghampiriku, dan kemudian bertanya, “bukunya sudah dibaca?”,
aku mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan orang ini. Tanpa menunggu
jawabanku, ia pergi begitu saja. Lama kemudian aku baru tersadar, aku baru
ingat pernah bertemu dengannya di toko buku. Aku jadi penasaran dengan buku itu.
Keesokan harinya aku ke toko buku, dan membelinya. Aku tak sempat membaca buku
itu sampai selesai, karena beberapa pekerjaan kantor yang masih belum selesai
dan kejar deadline. Setelah lembur berhari hari akhirnya semua pekerjaan kantor
pun rampung sebelum pergantian tahun.
1 Januari aku memilih untuk istirahat di
rumah dibanding keluar bersama teman teman merayakan tahun baru. Sore harinya,
telefon bordering membangunkanku dari tidur siang yang panjang, ternyata ayah. Percakapanku
ditelfon sore itu kemudian menghantarkanku pada sebuah moment yang sangat
penting dalam hidupku 3 bulan kemudian, yaah itu adalah hari pernikahanku.
Pernikahanku dengan seseorang bernama angkasa, ia biasa di panggil Asa. Lelaki yang
aku temui pertama kali di toko buku, lelaki yang kini menjadikanku lukisan
langitnya. Buku yang kubaca tiga bulan yang lalu, baru kutau bahwa suamikulah
penulisnya setelah seminggu pernikahan kami. Aku kembali membaca buku tersebut
hingga selesai, dan ditutup dengan derai tangis penuh haru. Buku itu
sesungguhnya menuliskan tentang diriku, tentang harapannya menjadikanku lukisan
langitnya. Aku begitu kagum padanya, ia begitu pandai menjaga hatinya, bahkan
di dalam buku, tak ada yang mampu menebak bahwa sesungguhnya tokoh perempuan dalam
buku ini ada dalam dunia nyata, dan itu aku. Terima kasih telah menjaga dirimu
dan hatimu untukku, terima kasih kamu menjemputku dalam ketaatan padaNya. Aku
akan selalu menjadi lukisan langitmu, Angkasaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar