Sepertinya mendung, tapi tak berarti hujan
Aku lupa itu hari apa, sudah sekitar tiga minggu yang lalu, yang kuingat pagi itu tampak mendung, matahari sungguh enggan menyapaku, mungkin akan turun hujan, pikirku. Setelah sekian lama tak mencium aroma tanah yang basah karena hujan, mungkinkah hari ini aku akan mencium aroma itu, semoga harapku dalam hati waktu itu.
Tiba tiba harapan itu menjadi sirna saat temanku berkomentar dan mengarahkan pandanganku ke atap rumah rumah warga, apakah kamu bisa melihat atap atap rumah mereka. Kutajamkan penglihatanku, yaa atap atap rumah warga tak terlihat sama sekali, tapi saya masih belum mengerti. "Ini bukan mendung na, ini kabut asap, kalo mendung masa awan nya bisa sampai menutupi atap rumah. Sedikit tersentak aku dibuatnya, kuarahkan lagi pandanganku, jauh kesegala penjuru, dan yaaa ini memang bukan mendung ini kabut asap.
Tiba tiba terasa sesak, pemandangan diluar terlihat makin menyeramkan, sepertinya negara api sudah menyerang. Teringat kawan kecilku diluar sana, apa kabarnya dia. Ia yang kadang hanya berganti baju seragam sekolah, celana sekolahnya yang berwarna merah pudar masih ia pakai menyusuri jalan jalan kota kecil ini, menjajakan kue hasil buatan ibunya.
Pernah suatu ketika aku bertemu dengannya disebuah pelataran mesjid selepas Isya, ia sedang beristirahat, kupandangi dagangannya yang masih banyak. "Kenapa masih jualan sampai jam segini de, tanyaku padanya". Ia tak langsung menjawab, malah sibuk melihat sekeliling apakah ada yang mau membeli dagangannya, baru beberapa menit kemudian ia menjawab, "Aku butuh uang untuk beli buku paket di sekolah kak" jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari sekitar, kalau kalau ada yang mau membeli dagangannya.
Usianya masih sangat belia, ketika ia harus mencicipi kerja keras. Sebelum meninggalkannya, kuborong semua dagangannya, dan menyuruhnya untuk segera pulang, ini sudah larut malam untuk anak seusianya yang masih diluar rumah sendirian.
Semenjak kabut asap melanda kota kecil ini aku jarang melihatnya, kadang aku sengaja menunggunya lama dipelataran mesjid tempat ia sering beristirahat sejenak, tapi tak kunjung juga kelihatan. Hingga beberapa hari yang lalu aku melihatnya berjualan di depan mesjid, lalu kuhampiri ia. Wajah cerianya tak terlihat, tertutupi masker tapi dari tatapan matanya ia tampak terlihat sangat letih.
Ternyata hari ini adalah hari pertamanya kembali berjualan, ibunya melarang ia keluar rumah selepas sekolah, selama dua minggu ia tak dapat tambahan uang untuk membeli buku sekolah, masih ada beberapa buku yang harus ia beli, ia hanya berjualan di rumahnya, hasil jualannya pun hanya cukup untuk makan sehari hari.
Negeri ini menjadi putih, bahkan menjadi kuning, mungkin dianggap sepele oleh mereka yang masih bisa bebas berjalan jalan menghirup udara tanpa khawatir akan terjadi sesuatu. Tapi lain halnya untuk mereka yang mencari rezeki di jalanan, mengucurkan keringat di udara terbuka. Kadang mereka harus berhenti karena kondisi udara yang makin memburuk, lalu siapa yang peduli, mereka kecil tak terlihat.
Tapi mereka ada, mereka juga hidup di negeri ini, kabut asap yang melanda sudah menjadi neraka dunia, membunuh perlahan, bukan hanya menjadikan paru paru kita lama kelamaan menjadi tak berfungsi dengan baik, tapi juga mengganggu sebagian dari mereka yang mencari rezeki di luar sana.
Lalu mereka yang berdasi, bekerja di balik meja di ruangan ber AC apakah peduli ? Peduli pada negeri yang menjadi putih, mungkin jika negera api menyerang gedung gedung megah mereka, baru mereka tersadar bahwa negara api sudah menyerang kami lebih dahulu.
Semoga hanya kami yang merasakannya, cukup hanya kami.
Samarinda, 25 Oktober 2015
Salam Santun
@irnayuliani_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar